Rabu, 07 Mei 2008

BANGKITKAN PENDIDIKANKU,BANGKITKAN INDONESIAKU......!!!!!

Penyuguhan agenda ‘ceremonial’ pada moment-moment tertentu memang sering kita lihat di negeri ini, termasuk juga pada moment-moment di ranah pendidikan yang merupakan suatu ranah yang paling urgent dalam memajukan sebuah tatanan kehidupan atau dalam skala globalnya dapat kita katakan dalam membangun sebuah peradaban.

Setiap tanggal 2 Mei, begitu juga 2 Mei di tahun ini, kita bisa melihat begitu banyak perayaan-perayaan mengenai moment di tanggal tersebut, moment Hari Pendidikan Nasional. Ada apel bendera, seminar, dan berbagai macam aksi yang kesemuanya itu dilakukan dalam rangka perayaan hari pendidikan nasional tersebut. Apakah ini kebetulan atau tidak? Terlepas benar atau salah, tapi setidaknya penulis menganalisa memang seperti inilah negeri ini, semuanya hanya terkesan dan menampilkan yang Wahnya saja namun realita bagaimana kondisi pendidikan di negeri ini dapat kita rasakan sendiri.

Salah satu hal mengapa dikatakan demikian adalah dengan masih belum terealisasinya hal yang telah diamanatkan kepada pengambil kebijakan di negeri ini yakni mengenai anggaran pendidikan. Seperti sebagaimana yang diaktakan bahwa Pemerintah menganggarkan untuk sektor pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD yang ada. Fsakta sampai pada tahun ini justru berkata lain, pemerintah baik pusat maupun daerah masih terkesan mengulur-ulurkan waktu daslam merealisasikannya. Kita bisa melihat, di Pusat saja realisasi anggaran pendidikan pada tahun lalu hanya sebesar 11,8 %. Wajar saja kalau Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa APBN 2006 dan 2007 melanggar konstitusi. Namun keputusan itu tidak membuat getar pengambil kebijakan negeri ini, hal ini terlihat dengan alokasi pada APBN 2008 yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR pada tanggal 9 Oktober lalu hanya menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen.

Hal ini bukanlah kejadian yang baru. Sejarah mencatat pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah 6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006), menjadi 14,7% (2007), menjadi 17,4 % (2008), dan terakhir 20,1% (2009). Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5% dari APBN atau seminar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005. Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp854,6 triliun.

Dan tentunya hal ini ’diamini’ oleh daerah-daerah, sehingga terlihatlah bahwa hampir tidak ada daerah yang menjalankan amanat rakyat ini. Pantas sajalah kalau pemerintah hari ini dianggap melanggar konstitusi, ingkar janji! Seharusnya dan jika memang mempunyai niat yang baik, maka hal yang pertama dilakukan dalam menyusun anggaran tersebut adalah dengan menyisihkan alokasi yang telah ditetapkan pada sektor pendidikan kemudian baru dibagikan pada sektor-sektor lain sesuai dengan kebutuhan.

Sekali lagi, pendidikan di negeri ini memang masih dilalaikan! Padahal sejak dahulu Palato pernah mengatakan bahwa pendidikan merupakan kewajiban dan panggilan yang harus diselnggarakan negara dan oleh sebab itu tidak boleh dilalaikan begitu saja. Ini artinya ada pesan yang telah diamanatkan sejak zaman dahulu kala bahwa pendidikan memang sebuah tanggung jawab pemerintah dalam usaha memajukan pendidikan dan tugas ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Tentunya hal ini harus diiringi dengan upaya yang menyeluruh kepada seluruh komponen bangsa mengenai akan pentingnya pendidikan. Selanjutnya, secara konsep agama, kewajiban yang tidak dilaksanakan akan mempunyai konsekuensi dosa. Jadi berdosakah pemerintah hari ini?

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa masih ada individu ataupun segolongan orang yang masih bisa mengharumkan nama Indonesia melalui pendidikan. Ditataran sejarah kita masih mempunyai guru bangsa yang cukup berprestasi di mata dunia. Sementara itu untuk kompetisi-kompetisi keilmuan tingkat dunia, bendera Indonesia masih bisa berkibar. Katanlah pata tahun 2006 tim olimpiade fisika Indonesia dapat memenangkan kompetisi bergengsi tersebut dengan predikat prestesius dimana salah seorang pesertanya meraih prediakat absolute winner, untuk tahun ini masih di ajang dunia, yaitu APHO IX yang diadakan di Mongolia pada 20-28 April silam. Tim Indonesia berhasil meraih emas terbanyak dibawah cina dan masuknya salah satu pesertanya sebagai peraih nilai tertinggi. Luar biasa bukan? Namun sudah cukup puaskah pemerintah dengan hal ini? Jawabannya tentu tidak. Berbanggga boleh saja, namun jangan rasa kebanggaan itu yang terus di ’pamer’kan dan melupakan kekurangan-kekurangan yang lebih mendominasi dari keberhasilan yang didapatkan oleh pemerintah sampai detik ini terhadap dunia pendidikan Indonesia.

Awan Kelam...
Fakta sampai hari ini masih menunjukkan pendidikan Indonesia masaih dalam suasana berduka. Dari data International Education Achievement (IEA), diaktakan bahwa untuk kemampuan membaca tingkat SD indonesia masuk dalam urutan 38 dari 39 negara yang distudikan. Untuk kemampuan IPA tingkat SMP, Indonesia masuk urutan 39 dari 42 negara dan untuk bidang Ilmu Pengetahuan Alam, negeri yang sering dilanda bencana ini mendapatkan urutan 40 dari 42 negara.

Menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2007 ini tercatat warga buta aksara mencapai 18,1 juta orang dan sekitar 4,35 juta diantaranya tergolong usia produktif (15-44 tahun). Sementara, yang di atas 44 tahun terdapat 13,4 juta orang. Yang tragisnya dari semua yang buta aksara tersebut sebanyak 70 persen adalah perempuan. Bisa diduga angka-angka ini berpengaruh terhadap peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia.
Seperti diungkap Wikipidia (25 Desember 2007), pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia dengan urutan 61, Thailand dengan urutan 73, Filipina dengan urutan 84 dan Vietnam dengan urutan 108.Pada tahun 2006. Pada tahun 2007 angka IPM Indonesia berada pada 0.728. sehingga laporan yang dikeluarkan oleh oleh UNDP pada 27 November 2007 ini menempatkan Indonesia berada pada peringkat 108. padahal batasan untuk klasifikasi negara maju adalah nilai IPM diatas 0.800.
Inilah beberapa catatan yang menunjukkan suasana duka wajah pendidikan di negeri ini. Suasana yang menunjukkan masih diabaikannya sektor pendidikan. Padahal pendidikan merupakan panglima pembangunan, jadi jangan pernah berharap negeri ini maju jika pendidikannya masih dipandang sebelah mata.

Masih ingatkan kita ketika negara Jepang kalah dalam perang dunia II ditahun 1945? Tahun dimana terdapat dua perbedaan yang mendasar antara Indonesia dan negara itu. Indonesia berada dalam suasana suka karena tahun itu adalah tahun dimana Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya. Sementara Jepang berada dalam suasana luluh lantak dan berduka akibat negaranya dibombardir. Tapi apakah yang dilakukan kaisar Jepang pada waktu itu? Sang kaisar hanya bertanya ’Berapakah jumlah giru yang masih hidup?’ Sebuah pertanyaan yang mengisaratkan bahwa hal yang utama harus dilakukan adalah dengan membangun faktor Sumber Daya Manusianya dan tentunya dengan pola pendidikan yang efektif, holistik dan berkesinambungan. Dan hal ini terbukti saat ini negara mereka berhasil menguasai perekonomian dunia dan dari indek pembangunan manusia jepang masuk pada 10 besar dunia saat jauh dari Indonesia. Pastinya kita bertanya-tanya apakah sebenarnya yang diperioritaskan bangsa Indonesia pada cacatan agendanya ketika kemerdekaan diraih.

Sekedar Solusi Alternatif
Penulsi katakan sekedar solusi alternatif karna penulis sangat yakin kalau para pembuat kebijakan bangsa ini telah mempunyai berbagai macam dan beragam rencana-rencana kerja dalam usaha memajukan pendidikan khsusnya dan kemajuan bangsa ini secara umumnya.

Untuk itu ada beberapa solusi alternatif yang penulis tawarkan agar bagaimaan nantinya bangsa ini benar-benar menjadi sebuah bangsa yang bermarwah, dan bukan suatu hal yang mustahil nantinya mampu menjadi kiblat dunia karna dengan pendidikannya benar-benar efektif dan mempunyai misi yang sesuai dengan fitrah manusia dan dijalankan sesuai dengan hati nurani bukan sekedar memperturutkan hawa nafsu.

Pertama, yakinlan bahwa pengambil kebijakan baik ditingkat pusat maupun daerah atau yang berada pada lembaga eksekutif ataupun legislatif benar-benar memahami tugas mereka. Ini dikatakan karena sampai hari ini kita bisa melihat masih adanya wilayah-wilayah pada tatanan pendidikan -ataupun yang lainnya- dinakhodai oleh orang-orang yang justru bukan mempunyai basic skill ataupun spesialsiasi keahlian dibidang pendidiakan. Tanpa perlu mengatakan studi kasus yang ada, pastinya dengan tragedi semacam ini sudah menunjuukkan adanya indikasi bahwa pendidikan di negeri ini masih diabaikan dan keinginan untuk memajukannya belum diusahakan dan direncanakan dengan semaksimal mungkin. Artinya jika pada tahapan perencanaanya saja belum maksimal, maka jangan pernah bermimpi indah jika hasil yang akan dicapai mempunyai kualitas yang dapat diandalkan.

Seharusnya pemimpin yang mempunyai otoritas dalam menempatkan para pendampingnya haruslah menilai dari segi keprofesionalan kerja dan obejktifitas yang ada bukan kemudian hanya berdasarkan pada kekuatan lobby, kedekatan, ataupun deal-deal politik yang bersifat politis semata. Jika hal ini dijadikan referensinya maka keberhasilan yang diraih oleh masa lalu tidak lebih hanya sebatas pengawalan sampai akhir masa jabatan kerja saja, namun dalam tataran kemajuan masih dipertanyakan, bukan sekedear stagnan malah bisa jadi mundur kebelakang.

Kedua, yakinkan bahwa kita Indonesia. Kualitas pendidikan kita memang masih jauh dari standar yang diharapkan. Bersdarkan data Times Higher Education Supplement (THES), akreditor pendidikan tinggi yang berbasis di London, menunjukkan bahwa di tahun 2007 terjadi penurunan yang cukup berarti dialami oleh kampus-kampus Indonesia. UGM turun ke peringkat 360, ITB merosot ke urutan 369, sementara UI berada di posisi 395 yang sebelumnya sangat berprestasi dengan mendapatkan urutan di posisi 250, dan Undip akhirnya terlempar dari 500 besar dunia yang tahun sebelumnya sempat bertengger di posisi 495. Inilah sebuah bayangan hitam yang menghantui calon-calon intelektual di Indonesia, kalau di daerah, mereka justru berbangga jika mampu untuk kuliah di jawa yang memang pada umunya perguruan tinggi terbaik di Indonesia tersebar di Jawa dan bahkan lebih berbangga lagi jika mampu untuk kuliah di luar negeri.

Jika hal ini berjalan terus menerus, memang tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang Indonesia akan mempunyai kapasitas intelektual yang tinggi akan tetapi rasa percaya diri mereka justru makin menurun. Mereka sudah tidak bangga lagi dengan guru dan bangsanya sendiri, bahkan lebih parahnya lagi adalah semakin lunturnya nilai-nilai budaya yang dimiliki.

Oleh karena itu, harus ada keyakinan dari anak-anak bangsa ini terhadap kebangkitan bangsanya. Paling tidak ada beberapa hal yang menurut penulis harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan ini. Pertama, adalah dengan meminta para pejabat-pejabat daerah untuk tetap meyekolahkan anak dan saudaranya didaerahnya. Begitu juga untuk pejabat yang duduk di pemerintahan pusat. Saya sangat yakin jika hal ini dilakukan maka akan ada usaha yang lebih serius dari pihak terkait dalam memajukan pendidikan di daerahnya. Bahkan pasti tidak akan banyak menunggu waktu dalam merealisasikannya. Namun hari ini justru terjadi adalah yang sebaliknya. Pemerintah lebih semangat memajukan sektor lainnya, bahkan lebih terkesan semangat dalam mensukseskan figur yang menjadi model atau ajang idola dan yang sejenisnyua ketimbang putra putri daerah yang telah berhasil dalam kompetisi keilmuan. Kedua, masih beraktian dengan para pejabat, yaitu meminta untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga-lembaga yang menghasilkan pendidik, seperti fakultas pendidikan. Selintas memang terlihat konyol dan pasti minat akan menjadi sebuah alasan.

Minat bukan sekedar hadir akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana menghadirkan atau bagaimana membuat orang jadi berminat. Inilah yang harus menjadi paradigma berpikir sekarang. Bagaimana kita menjadikan lembaga tempat ’penggodokan’ calon pendidik tersebut mejadi pilihan utama,.mempunyai fasilitas yang lengkap dan modern sehingga nantinya mempunyai kualitas yang bisa diandalkan. Hal ini tentunya harus dimulai dari pemimpin-pemimpin terlebih dahulu. Kita mengharapkan para pemimpin-pemimpin daerah tersebut untuk mestudikan anak dan saudaranya di lembaga pendidikan ini. Jika hal ini telah dilakukan dengan penuh keyakinan maka akan kita dapatkan lembaga ini akan mampu menjadi minat anak-anak yang berprestasi dan minat anak-anak birokrat. Walau beberapa tahun terakhir ini, keinginan untuk kuliah di fakultas keguran dan pendidikan sudah menjadi pilihan faforit, tapi yang kita inginkan tentunya lebih dari sekedar ini semua. Karena selama ini adanya stigma bahwa lembaga pendidikan keguran hanya merupakan ’tempat penampungan dan piliha terakhir.’ Selanjutnya hal yang pailng penting adalah bahwa dari rahim yang seperti ini akan dilahirkannya guru-guru yang berkulitas, guru yang tidak hanya mengajarar namun juga mempunyai jiwa pendidik dan panutan yang dapat dibanggakan.

Ketiga, komitmen dan kebersamaan. Visi tanpa aksi sama artinya dengan mimpi. Mungkin inilah kalimat yang cocok disaat kita hanya mampu untuk merancang berbagai macam visi plus misi dan berbagai macam strategi, namun nol besar dalam tataran aplikasinya. Komitman, inilah kata kuncinya. Rasa komitmenlah yang harus dibangun dalam merealisasikan apa yang telah ditetapkan, karena dengan komitmen ini akan menujukkan jiwa-jiwa yang bertanggung jawab. Selanjutnya rasa kebersamaanlah yang harus dimunculkan dalam merealisasikan apa yang telah ditargetkan. Bukan malah saling mencaci dan menjatuhkan.

Sedikit mengambil kata bijak yang diungkapkan oleh Walterlinn ’betapa banyak yang dapat kita lakukan jika kita mau, dan betapa sedikit yang dapat kita lakukan jika kita tidak mau melakukannya’ Semoga kita selalu mencari lasan untuk memajukan pendidikan ini, bukan sebaliknya. Hingga akhirnya kita akan mendapati bahwa mimpi indah itu bukanlah mimpi lagi tapi ia adalah sebuah kenyataan. Sekali lagi...hanya kareana pendidikannya, So... bangkitkan pendidikan ku, bangkitlah Indonesiaku!!!

1 komentar:

Fajar Nugraha mengatakan...

PEndidikan yang berkualitas melahirkan generasi yang jerdas